Kita harus memahami bahwa di dalam hidup ini, ada tiga pertanyaan yang harus kita jawab dengan tepat. Siapa yang kita sembah? Bagaimana kita hidup? Dengan siapa kita menghabiskan sisa hidup ini? Pernikahan yang buruk melahirkan kehidupan penuh penderitaan. Kita harus hati-hati dalam memilih pasangan hidup, dan meminta pimpinan TUHAN, agar Ia menuntun kita kepada orang yang berkenan kepada-Nya.
Jodoh dan Kehendak TUHAN
Allah yang Maha Tahu dan bekerja melintasi batas waktu dan tempat,
Ia memahami apa yang terbaik, Ia memiliki rencana, yang tidak sesederhana
permintaan kita. Ia melakukan dengan cara yang berbeda dari apa yang kita
bayangkan. Ada dua ekstrem yang mesti kita hindari. Pertama, kita memakai nama
TUHAN dengan sembarangan dan tergesa-gesa memastikan bahwa orang ini adalah
jodoh dari TUHAN. Tuhan tidak mengecualikan kita dari tanggung jawab mengenal
seseorang dengan baik dan teliti sebelum mengikatkan diri dalam pernikahan.
Tuhan pasti menuntun dan memberi kita hikmat untuk melihat dengan jernih,
tetapi Ia tidak membebastugaskan kita dari tanggung jawab memilih pasangan
hidup secara berhati-hati. Ekstrem kedua, kita tidak melibatkan TUHAN sama
sekali dalam memilih pasangan hidup. Kita beranggapan Tuhan tidak mencampuri
urusan “sekecil ini”. Tantangan bagi kita adalah memahami cara kerja Tuhan,
sehingga kita bisa mengerti kehendak-Nya dengan lebih tepat. Dari sisi manusia,
setidaknya kita dapat membagi cara kerja Tuhan dalam tiga kategori.
Pertama,
Tuhan bekerja melalui penetapan “langsung” tanpa kondisi khusus. Penetapan langsung adalah TUHAN bicara langsung pada kita bahwa
kita harus menikahi orang yang telah dia tetapkan untuk menjadi pasangan kita.
Di Alkitab hanya dicatat satu peristiwa seperti ini, TUHAN memerintah seseorang
untuk menikah dengan orang tertentu. Nabi Hosea dan istrinya Gomer. Di Alkitab
tidak ada contoh lain di mana TUHAN menetapkan dan memerintahkan secara
langsung siapakah orang yang kita nikahi kelak.
Kedua, Tuhan
bekerja melalui penetapan “langsung” dengan disertai kondisi khusus. Dalam upaya memastikan kehendak TUHAN, bahwa orang ini adalah
jodoh kita, acap kali kita mengaitkan peristiwa atau kondisi tertentu sebagai
cara TUHAN, mempertemukan kita. “kalua bukan kehendak TUHAN, tidak mungkin kami
bertemu saat itu.” Masalahnya, ketika relasi mengalami masalah, maka kita berkata “oh ternyata saya
keliru, ini bukan kehendak TUHAN!” kita harus berhati-hati, tidak semua orang
yang kita temui adalah jodoh kita. Jadi jangan berkata seseorang adalah jodoh
kita atas dasar pertemuan.
Ketiga, Tuhan
bekerja melalui penetapan “tidak langsung”, tanpa kondisi khusus. Perjodohan adalah bagian alamiah dari kehidupan manusia dan Tuhan
memberikan keleluasaan kepada kita untuk menentukan jodoh yang ingin kita nikahi.
Tuhan memberikan ruang gerak yang sangat leluasa bagi kita untuk mengambil
keputusan, tetapi TUHAN juga memberikan rambu-rambu dalam kebebasan ini.
Pertama, jodoh yang kita pilih haruslah seiman, sebab tujuan hidup kita adalah
menyenangkan hati TUHAN, dan menaati rambu-rambu perjodohan yang merupakan
wujud nyata menyenangkan hati Tuhan. Kedua, hubungan sebuah pernikahan haruslah
menjadi hubungan yang saling menolong. Artinya, di dalamnya harus ada unsur
kecocokan antara dua pihak. Tuhan menciptakan Hawa untuk menjadi penolong bagi
Adam. Tuhan menghendaki kita saling menolong, tidak mungkin kita akan saling
menolong jika kita tidak menemukan kecocokan, justru kita akan lebih sering
konflik. Kita perlu waktu yang cukup Panjang untuk menguji apa kecocokan yang
ada mewakili seluruh aspek kehidupan atau hanya Sebagian. Jika kita hanya cocok
saat bicara hal ringan tapi bertengkar saat bicara hal serius, artinya, kita
tidak memiliki kecocokan yang utuh.
Kecocokan juga dilihat dari apakah kita dapat menjadi diri sendiri
sewaktu bersamanya, seseorang yang tampil berbeda (tidak menjadi diri sendiri)
karena tidak ingin kehilangan, sesungguhnya sedang membangun sebuah kecocokan
yang semu. Komunikasi dan prilaku yang jujur perlu di ekspresikan sejak awal
menjalin relasi. Menjadi diri sendiri tidak berarti seenaknya dan tidak
menghargai orang lain. Menjadi diri sendiri artinya tidak pura-pura untuk
menyembunyikan keburukan atau perbedaan yang ada. Kecocokan juga bisa dilihat,
apakah terdapat keseimbangan antara memberi dan menerima. Jangan menjadi
pasangan yang satu terlalu ekstrem memberi sedangakan yang lain terlalu ekstrim
menerima. Sebab yang ekstrem memberi, akan lelah memberi dan yang ekstrim
menerima akan menjadi penuntut.
Kita perlu
mendengarkan konfirmasi perihal kecocokan relasi kita dari sesama orang
percaya, terutama mereka yang dewasa secara rohani dan mengenal kita cukup
baik,dan terutama orang tua kita sendiri. Masukan orang lain menolong kita
melihat relasi dengan lebih jernih serta obyektif. Satu tanda relasi yang sehat
adalah keterbukaan mendengar dan menyerap pendapat orang. Bagaimana kita
meyakini bahwa seseorang yang kita gumulkan adalah kehendak Tuhan untuk kita?
Salah satunya adalah mengikuti rambu-rambu yang TUHAN berikan. Tapi, kita juga
tidak boleh naif dengan menganggap jika kita adalah orang percaya sudah pasti
TUHAN menghendaki relasi ini. Sebelum kita memastikan apakah orang ini adalah
pasangan yang Tuhan sediakan, kita di minta memikirkannya masak-masak. Kita
hanya dapat memastikan bahwa ia adalah pasangan yang Tuhan sediakan, setelah
kita mengujinya dengan penuh kehati-hatian. Kita diberi ruang yang cukup luas
dan bebas dalam suatu pernikahan/perjodohan. Di dalam kebebasan inilah kita
harus meminta dan mencari pimpinan Tuhan, melalui doa dan hikmat agar kita
dapat menilai dengan tepat. Walau kita sesama orang percaya, tapi jika tidak
ada kecocokan di antara kita, janganlah kita menikahinya. Kesamaan iman dan
kecocokan adalah dua kriteria yang TUHAN tetapkan dan terbaik bagi kita.
Mulai Berpacaran
Dalam proses berpacaran yang sehat, kita harus melewati beberapa fase,
tidak instan. Tahap pertama adalah bergaul secara luas dengan sebanyak mungkin,
orang. Pada tahap awal, sebaiknya kita memulai relasi lewat persahabatan di
dalam kelompok kecil terlebih dahulu, sehingga kita bisa melihat cara berfikir,
sikap, kebiasaan, dan nilai-nilai hidup seseorang. Dari apa yang kita lihat,
dengar, dan alami bersama, kita bisa melihat persamaan dan perbedaan dirinya
dengan diri kita. Kita dapat mengenali, apakah kita cocok dan bisa penyesuaian
dengannya.
Jika ternyata dalam
persahabatan kelompok, kita punya banyak kecocokan dengannya, dan perasaan
kasih juga bertumbuh, sebaiknya kita menyatakannya dan mengajaknya mendoakan
masa depan relasi itu. Setelah lewat masa mendoakan, jika kita semakin saling
mengasihi, saling mengisi dan membangun, serta tidak ada petunjuk khusus bahwa
TUHAN melarang kita bersamanya, kita bisa masuk ke tahap pacaran. Jangan kita
membalik tahapan berpacaran mendahului tahapan persahabatan dan doa. Sebab
ketika kita sudah berpacaran, kita cenderung memandang sebelah mata dengan
perbedaan yang ada. Sepanjang pacaran, kita menguji keyakinan apakah kita siap
menuju pernikahan ataukah tidak. Keragu-raguan mendorong kita mengenal pasangan
lebih mendalam dan mencoba menjembatani perbedaan yang ada. Bila upaya
menjembatani perbedaan tidak berhasil, jangan ragu memutuskan relasi ini.
Beranilah mengambil keputusan demi masa depan. Masa berpacaran adalah masa
membuka mata dan telinga lebar-lebar, apakah terdapat kecocokan, apakah saling
memberi dan menerima, apakah kita saling menyesuaikan diri? Hubungan yang
sehat, akan menghilangkan keragu-raguan menjelang pernikahan.
Peran Orang Tua dan Sikap Anak dalam
Memilih Pasangan Hidup
Peran orang tua adalah
mempersiapkan anak untuk menjadi manusia yang sehat, siap, dan matang memasuki
pernikahan. Tanggung jawab orang tua untuk menanamkan kriteria pasangan yang
harus anak pilih dan mengajarkan prinsip perjodohan yang benar. Kita perlu mempersiapkan
agar anak bisa menerapkan nilai rohani dan akal sehat dalam hubungan asmara
dengan lawan jenis, supaya tidak terjebak dalam emosi semata. Sebagai orang
tua, kita harus menyadari bahwa kita tidak bisa terus mengatur kehidupan anak.
Ada saatnya kita membiarkan anak untuk mengambil keputusan bagi dirinya
sendiri. Setelah anak akil balig, kita memang berkewajiban memberikan masukan
kedepannya, tetapi kita tidak bisa mendikte dengan siapa ia harus menikah. Kita
tidak bisa memaksa kehendak pribadi kita atas dirinya.
Kita harus menjadi
guru sekaligus sahabat sepanjang proses pertumbuhannya. Melalui hubungan inilah
kita memasukkan prinsip-prinsip kebenaran yang perlu di pegangnya dalam
menjalani kehidupan. Kelak, ia pun ingin mendapat restu dan konfirmasi atas
pilihan hidupnya. Jika anak memilih jalan yang bertentangan dengan Firman,
tentu kita merasa sedih. Memang pada titik tertentu kita harus merelakan anak
mengambil keputusan sendiri dan menanggung akibatnya. Kita hanya dapat
mendoakan dan menunggunya untuk kembali dan bertobat. Sebab kadang ada waktu
dimana hanya kenyataan dan bukan perkataan yang bisa menyadarkan anak.
Terlalu mencampuri
anak dalam urusan memilih pasangan hidup, akan mengakibatkan anak memiliki
alasan untuk melemparkan kesalahan dan tanggung jawab atas pernikahannya kepada
kita. Entah di jodohkan, dipaksa menikah, diminta cepat menikah karena usia
yang berumur, ingin cepat memiliki cucu, dan lain-lain. Itulah sebabnya pada
titik tertentu, kita harus membiarkan anak untuk membuat keputusan sendiri.
Sebagai anak, kita
harus proporsional dalam menempatkan diri. Kita harus menyediakan telinga untuk
mendengar nasihat orang tua, tapi juga harus ada batasan yang jelas, sejauh
mana orang tua dapat mencampuri kehidupan kita. Jadi, kita tetap menghormati
orang tua tanpa mengorbankan kehidupan kita. Penyesalan tidak mengubah sebuah
fakta, penyesalan hanya menyadarkan bahwa kita telah membuat kesalahan.
Terlebih penting dari segalanya, carilah pasangan yang takut akan TUHAN.
Pernikahan yang tunduk akan TUHAN, akan menjadi pernikahan yang diberkati
TUHAN.
0 komentar:
Posting Komentar