Senin, 02 November 2020

BAB 5 PERNAK PERNIK PERJODOHAN BY PAUL GUNADI

 Kita harus memahami bahwa di dalam hidup ini, ada tiga pertanyaan yang harus kita jawab dengan tepat. Siapa yang kita sembah? Bagaimana kita hidup? Dengan siapa kita menghabiskan sisa hidup ini? Pernikahan yang buruk melahirkan kehidupan penuh penderitaan. Kita harus hati-hati dalam memilih pasangan hidup, dan meminta pimpinan TUHAN, agar Ia menuntun kita kepada orang yang berkenan kepada-Nya.



Jodoh dan Kehendak TUHAN

                Allah yang Maha Tahu dan bekerja melintasi batas waktu dan tempat, Ia memahami apa yang terbaik, Ia memiliki rencana, yang tidak sesederhana permintaan kita. Ia melakukan dengan cara yang berbeda dari apa yang kita bayangkan. Ada dua ekstrem yang mesti kita hindari. Pertama, kita memakai nama TUHAN dengan sembarangan dan tergesa-gesa memastikan bahwa orang ini adalah jodoh dari TUHAN. Tuhan tidak mengecualikan kita dari tanggung jawab mengenal seseorang dengan baik dan teliti sebelum mengikatkan diri dalam pernikahan. Tuhan pasti menuntun dan memberi kita hikmat untuk melihat dengan jernih, tetapi Ia tidak membebastugaskan kita dari tanggung jawab memilih pasangan hidup secara berhati-hati. Ekstrem kedua, kita tidak melibatkan TUHAN sama sekali dalam memilih pasangan hidup. Kita beranggapan Tuhan tidak mencampuri urusan “sekecil ini”. Tantangan bagi kita adalah memahami cara kerja Tuhan, sehingga kita bisa mengerti kehendak-Nya dengan lebih tepat. Dari sisi manusia, setidaknya kita dapat membagi cara kerja Tuhan dalam tiga kategori.

Pertama, Tuhan bekerja melalui penetapan “langsung” tanpa kondisi khusus. Penetapan langsung adalah TUHAN bicara langsung pada kita bahwa kita harus menikahi orang yang telah dia tetapkan untuk menjadi pasangan kita. Di Alkitab hanya dicatat satu peristiwa seperti ini, TUHAN memerintah seseorang untuk menikah dengan orang tertentu. Nabi Hosea dan istrinya Gomer. Di Alkitab tidak ada contoh lain di mana TUHAN menetapkan dan memerintahkan secara langsung siapakah orang yang kita nikahi kelak.

Kedua, Tuhan bekerja melalui penetapan “langsung” dengan disertai kondisi khusus. Dalam upaya memastikan kehendak TUHAN, bahwa orang ini adalah jodoh kita, acap kali kita mengaitkan peristiwa atau kondisi tertentu sebagai cara TUHAN, mempertemukan kita. “kalua bukan kehendak TUHAN, tidak mungkin kami bertemu saat itu.” Masalahnya, ketika relasi mengalami  masalah, maka kita berkata “oh ternyata saya keliru, ini bukan kehendak TUHAN!” kita harus berhati-hati, tidak semua orang yang kita temui adalah jodoh kita. Jadi jangan berkata seseorang adalah jodoh kita atas dasar pertemuan.

Ketiga, Tuhan bekerja melalui penetapan “tidak langsung”, tanpa kondisi khusus. Perjodohan adalah bagian alamiah dari kehidupan manusia dan Tuhan memberikan keleluasaan kepada kita untuk menentukan jodoh yang ingin kita nikahi. Tuhan memberikan ruang gerak yang sangat leluasa bagi kita untuk mengambil keputusan, tetapi TUHAN juga memberikan rambu-rambu dalam kebebasan ini. Pertama, jodoh yang kita pilih haruslah seiman, sebab tujuan hidup kita adalah menyenangkan hati TUHAN, dan menaati rambu-rambu perjodohan yang merupakan wujud nyata menyenangkan hati Tuhan. Kedua, hubungan sebuah pernikahan haruslah menjadi hubungan yang saling menolong. Artinya, di dalamnya harus ada unsur kecocokan antara dua pihak. Tuhan menciptakan Hawa untuk menjadi penolong bagi Adam. Tuhan menghendaki kita saling menolong, tidak mungkin kita akan saling menolong jika kita tidak menemukan kecocokan, justru kita akan lebih sering konflik. Kita perlu waktu yang cukup Panjang untuk menguji apa kecocokan yang ada mewakili seluruh aspek kehidupan atau hanya Sebagian. Jika kita hanya cocok saat bicara hal ringan tapi bertengkar saat bicara hal serius, artinya, kita tidak memiliki kecocokan yang utuh.

                Kecocokan juga dilihat dari apakah kita dapat menjadi diri sendiri sewaktu bersamanya, seseorang yang tampil berbeda (tidak menjadi diri sendiri) karena tidak ingin kehilangan, sesungguhnya sedang membangun sebuah kecocokan yang semu. Komunikasi dan prilaku yang jujur perlu di ekspresikan sejak awal menjalin relasi. Menjadi diri sendiri tidak berarti seenaknya dan tidak menghargai orang lain. Menjadi diri sendiri artinya tidak pura-pura untuk menyembunyikan keburukan atau perbedaan yang ada. Kecocokan juga bisa dilihat, apakah terdapat keseimbangan antara memberi dan menerima. Jangan menjadi pasangan yang satu terlalu ekstrem memberi sedangakan yang lain terlalu ekstrim menerima. Sebab yang ekstrem memberi, akan lelah memberi dan yang ekstrim menerima akan menjadi penuntut.

                Kita perlu mendengarkan konfirmasi perihal kecocokan relasi kita dari sesama orang percaya, terutama mereka yang dewasa secara rohani dan mengenal kita cukup baik,dan terutama orang tua kita sendiri. Masukan orang lain menolong kita melihat relasi dengan lebih jernih serta obyektif. Satu tanda relasi yang sehat adalah keterbukaan mendengar dan menyerap pendapat orang. Bagaimana kita meyakini bahwa seseorang yang kita gumulkan adalah kehendak Tuhan untuk kita? Salah satunya adalah mengikuti rambu-rambu yang TUHAN berikan. Tapi, kita juga tidak boleh naif dengan menganggap jika kita adalah orang percaya sudah pasti TUHAN menghendaki relasi ini. Sebelum kita memastikan apakah orang ini adalah pasangan yang Tuhan sediakan, kita di minta memikirkannya masak-masak. Kita hanya dapat memastikan bahwa ia adalah pasangan yang Tuhan sediakan, setelah kita mengujinya dengan penuh kehati-hatian. Kita diberi ruang yang cukup luas dan bebas dalam suatu pernikahan/perjodohan. Di dalam kebebasan inilah kita harus meminta dan mencari pimpinan Tuhan, melalui doa dan hikmat agar kita dapat menilai dengan tepat. Walau kita sesama orang percaya, tapi jika tidak ada kecocokan di antara kita, janganlah kita menikahinya. Kesamaan iman dan kecocokan adalah dua kriteria yang TUHAN tetapkan dan terbaik bagi kita.

Mulai Berpacaran

Dalam proses berpacaran yang sehat, kita harus melewati beberapa fase, tidak instan. Tahap pertama adalah bergaul secara luas dengan sebanyak mungkin, orang. Pada tahap awal, sebaiknya kita memulai relasi lewat persahabatan di dalam kelompok kecil terlebih dahulu, sehingga kita bisa melihat cara berfikir, sikap, kebiasaan, dan nilai-nilai hidup seseorang. Dari apa yang kita lihat, dengar, dan alami bersama, kita bisa melihat persamaan dan perbedaan dirinya dengan diri kita. Kita dapat mengenali, apakah kita cocok dan bisa penyesuaian dengannya.

                Jika ternyata dalam persahabatan kelompok, kita punya banyak kecocokan dengannya, dan perasaan kasih juga bertumbuh, sebaiknya kita menyatakannya dan mengajaknya mendoakan masa depan relasi itu. Setelah lewat masa mendoakan, jika kita semakin saling mengasihi, saling mengisi dan membangun, serta tidak ada petunjuk khusus bahwa TUHAN melarang kita bersamanya, kita bisa masuk ke tahap pacaran. Jangan kita membalik tahapan berpacaran mendahului tahapan persahabatan dan doa. Sebab ketika kita sudah berpacaran, kita cenderung memandang sebelah mata dengan perbedaan yang ada. Sepanjang pacaran, kita menguji keyakinan apakah kita siap menuju pernikahan ataukah tidak. Keragu-raguan mendorong kita mengenal pasangan lebih mendalam dan mencoba menjembatani perbedaan yang ada. Bila upaya menjembatani perbedaan tidak berhasil, jangan ragu memutuskan relasi ini. Beranilah mengambil keputusan demi masa depan. Masa berpacaran adalah masa membuka mata dan telinga lebar-lebar, apakah terdapat kecocokan, apakah saling memberi dan menerima, apakah kita saling menyesuaikan diri? Hubungan yang sehat, akan menghilangkan keragu-raguan menjelang pernikahan.

Peran Orang Tua dan Sikap Anak dalam Memilih Pasangan Hidup

                Peran orang tua adalah mempersiapkan anak untuk menjadi manusia yang sehat, siap, dan matang memasuki pernikahan. Tanggung jawab orang tua untuk menanamkan kriteria pasangan yang harus anak pilih dan mengajarkan prinsip perjodohan yang benar. Kita perlu mempersiapkan agar anak bisa menerapkan nilai rohani dan akal sehat dalam hubungan asmara dengan lawan jenis, supaya tidak terjebak dalam emosi semata. Sebagai orang tua, kita harus menyadari bahwa kita tidak bisa terus mengatur kehidupan anak. Ada saatnya kita membiarkan anak untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri. Setelah anak akil balig, kita memang berkewajiban memberikan masukan kedepannya, tetapi kita tidak bisa mendikte dengan siapa ia harus menikah. Kita tidak bisa memaksa kehendak pribadi kita atas dirinya.

                Kita harus menjadi guru sekaligus sahabat sepanjang proses pertumbuhannya. Melalui hubungan inilah kita memasukkan prinsip-prinsip kebenaran yang perlu di pegangnya dalam menjalani kehidupan. Kelak, ia pun ingin mendapat restu dan konfirmasi atas pilihan hidupnya. Jika anak memilih jalan yang bertentangan dengan Firman, tentu kita merasa sedih. Memang pada titik tertentu kita harus merelakan anak mengambil keputusan sendiri dan menanggung akibatnya. Kita hanya dapat mendoakan dan menunggunya untuk kembali dan bertobat. Sebab kadang ada waktu dimana hanya kenyataan dan bukan perkataan yang bisa menyadarkan anak.

                Terlalu mencampuri anak dalam urusan memilih pasangan hidup, akan mengakibatkan anak memiliki alasan untuk melemparkan kesalahan dan tanggung jawab atas pernikahannya kepada kita. Entah di jodohkan, dipaksa menikah, diminta cepat menikah karena usia yang berumur, ingin cepat memiliki cucu, dan lain-lain. Itulah sebabnya pada titik tertentu, kita harus membiarkan anak untuk membuat keputusan sendiri.

                Sebagai anak, kita harus proporsional dalam menempatkan diri. Kita harus menyediakan telinga untuk mendengar nasihat orang tua, tapi juga harus ada batasan yang jelas, sejauh mana orang tua dapat mencampuri kehidupan kita. Jadi, kita tetap menghormati orang tua tanpa mengorbankan kehidupan kita. Penyesalan tidak mengubah sebuah fakta, penyesalan hanya menyadarkan bahwa kita telah membuat kesalahan. Terlebih penting dari segalanya, carilah pasangan yang takut akan TUHAN. Pernikahan yang tunduk akan TUHAN, akan menjadi pernikahan yang diberkati TUHAN.







0 komentar:

Posting Komentar