Sabtu, 31 Oktober 2020

BAB 3 JIKA SAYA MENIKAH NANTI BY PAUL GUNADI

 Mari kita berandai-andai, seandainya kita menikah nanti, orang seperti apa yang akan kita pilih? Sebelum membaca review, yuk biasakan membaca klu-nya pada pertanyaan di gambar ini.


Pada dasarnya Tuhan memimpin kita melewati proses penggunaan akal sehat, pertimbangan, dan hikmat dalam melihat, apakah kita cocok atau tidak dengan orang yang kita kasihi itu.

Mari kita berandai-andai, kalo nanti kita menikah, sebenarnya sosok seperti apa yang ingin kita jadikan sebagai pendamping hidup kita. Setidaknya ada 6 hal yang bisa kita kritisi.

                Pertama, jika saya menikah nanti, saya akan menikah dengan orang yang bisa saya hormati. Pilihlah orang yang kita kagumi dan semakin kita kagumi setelah mengenalnya, pilihlah yang karena sifatnya yang baik itu tidak kita temukan pada orang lain. Sosok yang mengagumkan itu tidak hanya baik atau berprinsip di awal saja, tetapi kebaikan dan prinsip itu dia jalankan secara konsisten dalam kehidupannya.

In my opinion : ini banyak aku temui di relasi orang-orang terdekatku. Awalnya sopan, baik, rohani banget, ingetin doa, ibadah. Tapi lama kelamaan gak konsisten seperti di awal yang sikapnya sopan dan baik, justru lama-lama kita merasa dia munafik. Nah di sini artinya, kita sudah gak memiliki rasa kagum lagi sama pasangan, sebaliknya yang ada hanyalah rasa jengkel dan ingin mengumpat terhadap pasangan. Kita justru menyepelekan dia.

                Kedua, jika saya menikah nanti, saya akan menikah dengan orang yang dapat saya percayai. Pilihlah orang yang jujur, yang dapat terbuka dengan kita, sehingga kita tidak perlu menebak-nebak, apa yang sebenarnya dia lakukan atau dia rencanakan. Kita akan mengetahui apakah dia dapat kita percayai atau tidak, dengan berjalannya waktu. Jadi ambillah waktu yang lebih panjang, agar kita dapat mengenalnya. Jangan menikah dengan orang yang baru kita kenal 3 hari atau 3 bulan.

                Ketiga, jika saya menikah nanti, saya akan menikah dengan orang yang layak saya kasihi. Pilihlah orang yang bukan hanya kata orang, dia baik, tapi pilihlah orang yang bisa menyenangkan hati kita, bisa menjaga hati kita, sehingga kita pun semakin sayang dengan dia, kita punya rasa untuk kembali menghujani dia dengan kasih sayang dan hal-hal yang indah. Jangan memilih orang yang menimbulkan rasa sakit hati, karena bukannya kita terpancing untuk menghujani dia dengan kasih, justru yang timbul adalah kebencian di hati kita, rasa tidak percaya, dan tidak hormat kepadanya. Untuk bisa merasakan kasih, kita sendiri juga harus bisa di hormati, dipercaya, dan mengasihi pasangan kita juga. Jadi disini ada simbiosis mutualisme, dimakan kita tidak hanya menuntut tapi kita sendiri juga dituntut hal yang sama.

                Keempat, jika saya menikah nanti, saya akan menikah dengan orang yang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan alias fleksibel.  Modal dalam pernikahan, diantaranya tidak hanya harta tapi juga kedewasaan. Pertama, dia bisa mengerti kita, memahami alam pikiran kita, dan bisa memahami perasaan kita. Modal kedua, orang ini bersedia mengubah dirinya untuk menyesuaikan diri dengan keberadaan kita. Kalau seseorang tidak mau berubah dan sangat kaku serta berkata “Kamu mau terima saya atau tidak terserah kamu, saya orangnya seperti ini, kalo tidak mau ya sudah saya pilih orang lain” atau “Kalo kamu mau sama saya, ya kamu harus terima segalanya soal saya, jangan menuntut”, ini merupakan tanda bahwa orang tersebut sulit menyesuaikan diri dengan kita. Pernikahan menuntut orang bersedia menyesuaikan diri, sepanjang hidup kita saat belum menikah, kita sudah dituntut untuk menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi yang berbeda-beda, apa lagi ketika kita menikah. Jika penyesuaian diri tidak bisa dilakukan, masalah tentu akan masuk kedalam rumah tangga kita. Dia juga harus siap-siap menyesuaikan diri bahwa dia tidak lagi seperti waktu sebelum menikah.

In my opinion : aku perlu garis bawahi soal menyesuaikan diri, karena ini itu penting banget. Saat menikah, kita harus menyesuaikan diri dengan keuangan kita. Uang yang dulu bisa kita pakai dengan sekehendak hati sendiri, sekarang sudah tidak bisa lagi, karena kini kita punya tanggung jawab yaitu pasangan dan bahkan anak, jika kita sudah punya anak nanti. Kemudian juga cara kita bersosialisasi, dulu saat belum menikah, kita bisa hang out semau kita, dan selama mungkin, tapi saat menikah, semua itu sudah ada batasnya, kita tidak bisa lagi bertindak sesuka hati. Sebab ada tanggung jawab rumah tangga yang sudah menanti kita, seperti menjaga anak, mencari nafkah, dll.

                Kelima, jika saya menikah nanti, saya akan menikah dengan orang yang telah siap mengakhiri hidup lajang. Siap mengakhiri masa lajang, artinya dia siap dimiliki seseorang. Pernikahan merupakan relasi ekslusif. Alkitab mengatakan kepada suami bahwa tubuhmu bukan milikmu lagi, melainkan milik istrimu, dan kepada istri bahwa tubuhmu bukan milikmu lagi tetapi milik suamimu. Jadi disini jelas bahwa pernikahan memang membuat kita terikat, sebab ketika kita tidak bersedia dimiliki pasangan kita, melakukan penyesuaian, menjadi apa yang pasangan kita inginkan, kita akan mengalami kesulitan dalam pernikahan.

                Keenam, jika saya menikah nanti, saya akan menikah dengan orang yang telah siap berkeluarga, menjadi seorang ayah atau ibu, dan siap membagi hidup dengan pasangan dan anak-anak. Berbagi hidup artinya, adakalanya apa yang ingin dia lakukan itu tidak sepenuhnya bisa dia lakukan. Contoh, seorang ayah menolak mengantarkan anak les, karena dia sedang asik menonton pertandingan bola dari PSB kesukaannya. << ini merupakan tanda bahwa orang itu tidak siap membagi hidup.




0 komentar:

Posting Komentar