Mari kita berandai-andai, seandainya kita menikah nanti, orang seperti apa yang akan kita pilih? Sebelum membaca review, yuk biasakan membaca klu-nya pada pertanyaan di gambar ini.
Pada dasarnya Tuhan memimpin kita melewati proses penggunaan
akal sehat, pertimbangan, dan hikmat dalam melihat, apakah kita cocok atau
tidak dengan orang yang kita kasihi itu.
Mari kita berandai-andai, kalo nanti kita menikah,
sebenarnya sosok seperti apa yang ingin kita jadikan sebagai pendamping hidup
kita. Setidaknya ada 6 hal yang bisa kita kritisi.
Pertama, jika saya menikah nanti, saya akan
menikah dengan orang yang bisa saya hormati. Pilihlah orang yang kita kagumi
dan semakin kita kagumi setelah mengenalnya, pilihlah yang karena sifatnya yang
baik itu tidak kita temukan pada orang lain. Sosok yang mengagumkan itu tidak
hanya baik atau berprinsip di awal saja, tetapi kebaikan dan prinsip itu dia
jalankan secara konsisten dalam kehidupannya.
In my opinion : ini banyak aku
temui di relasi orang-orang terdekatku. Awalnya sopan, baik, rohani banget,
ingetin doa, ibadah. Tapi lama kelamaan gak konsisten seperti di awal yang
sikapnya sopan dan baik, justru lama-lama kita merasa dia munafik. Nah di sini
artinya, kita sudah gak memiliki rasa kagum lagi sama pasangan, sebaliknya yang
ada hanyalah rasa jengkel dan ingin mengumpat terhadap pasangan. Kita justru
menyepelekan dia.
Kedua, jika saya menikah nanti, saya akan
menikah dengan orang yang dapat saya percayai. Pilihlah orang yang jujur,
yang dapat terbuka dengan kita, sehingga kita tidak perlu menebak-nebak, apa
yang sebenarnya dia lakukan atau dia rencanakan. Kita akan mengetahui apakah
dia dapat kita percayai atau tidak, dengan berjalannya waktu. Jadi ambillah
waktu yang lebih panjang, agar kita dapat mengenalnya. Jangan menikah dengan
orang yang baru kita kenal 3 hari atau 3 bulan.
Ketiga, jika saya menikah nanti, saya akan
menikah dengan orang yang layak saya kasihi. Pilihlah orang yang bukan
hanya kata orang, dia baik, tapi pilihlah orang yang bisa menyenangkan hati
kita, bisa menjaga hati kita, sehingga kita pun semakin sayang dengan dia, kita
punya rasa untuk kembali menghujani dia dengan kasih sayang dan hal-hal yang
indah. Jangan memilih orang yang menimbulkan rasa sakit hati, karena bukannya
kita terpancing untuk menghujani dia dengan kasih, justru yang timbul adalah
kebencian di hati kita, rasa tidak percaya, dan tidak hormat kepadanya. Untuk
bisa merasakan kasih, kita sendiri juga harus bisa di hormati, dipercaya, dan
mengasihi pasangan kita juga. Jadi disini ada simbiosis mutualisme, dimakan
kita tidak hanya menuntut tapi kita sendiri juga dituntut hal yang sama.
Keempat, jika saya menikah nanti, saya akan
menikah dengan orang yang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan alias
fleksibel. Modal dalam pernikahan,
diantaranya tidak hanya harta tapi juga kedewasaan. Pertama, dia bisa mengerti
kita, memahami alam pikiran kita, dan bisa memahami perasaan kita. Modal kedua,
orang ini bersedia mengubah dirinya untuk menyesuaikan diri dengan keberadaan
kita. Kalau seseorang tidak mau berubah dan sangat kaku serta berkata “Kamu mau
terima saya atau tidak terserah kamu, saya orangnya seperti ini, kalo tidak mau
ya sudah saya pilih orang lain” atau “Kalo kamu mau sama saya, ya kamu harus
terima segalanya soal saya, jangan menuntut”, ini merupakan tanda bahwa orang
tersebut sulit menyesuaikan diri dengan kita. Pernikahan menuntut orang
bersedia menyesuaikan diri, sepanjang hidup kita saat belum menikah, kita sudah
dituntut untuk menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi yang berbeda-beda,
apa lagi ketika kita menikah. Jika penyesuaian diri tidak bisa dilakukan,
masalah tentu akan masuk kedalam rumah tangga kita. Dia juga harus siap-siap
menyesuaikan diri bahwa dia tidak lagi seperti waktu sebelum menikah.
In my opinion : aku perlu garis
bawahi soal menyesuaikan diri, karena ini itu penting banget. Saat menikah,
kita harus menyesuaikan diri dengan keuangan kita. Uang yang dulu bisa kita
pakai dengan sekehendak hati sendiri, sekarang sudah tidak bisa lagi, karena
kini kita punya tanggung jawab yaitu pasangan dan bahkan anak, jika kita sudah
punya anak nanti. Kemudian juga cara kita bersosialisasi, dulu saat belum
menikah, kita bisa hang out semau
kita, dan selama mungkin, tapi saat menikah, semua itu sudah ada batasnya, kita
tidak bisa lagi bertindak sesuka hati. Sebab ada tanggung jawab rumah tangga
yang sudah menanti kita, seperti menjaga anak, mencari nafkah, dll.
Kelima, jika saya menikah nanti, saya akan
menikah dengan orang yang telah siap mengakhiri hidup lajang. Siap
mengakhiri masa lajang, artinya dia siap dimiliki seseorang. Pernikahan
merupakan relasi ekslusif. Alkitab mengatakan kepada suami bahwa tubuhmu bukan
milikmu lagi, melainkan milik istrimu, dan kepada istri bahwa tubuhmu bukan
milikmu lagi tetapi milik suamimu. Jadi disini jelas bahwa pernikahan memang
membuat kita terikat, sebab ketika kita tidak bersedia dimiliki pasangan kita,
melakukan penyesuaian, menjadi apa yang pasangan kita inginkan, kita akan
mengalami kesulitan dalam pernikahan.
Keenam, jika saya menikah nanti, saya akan
menikah dengan orang yang telah siap berkeluarga, menjadi seorang ayah atau
ibu, dan siap membagi hidup dengan pasangan dan anak-anak. Berbagi hidup
artinya, adakalanya apa yang ingin dia lakukan itu tidak sepenuhnya bisa dia
lakukan. Contoh, seorang ayah menolak mengantarkan anak les, karena dia sedang
asik menonton pertandingan bola dari PSB kesukaannya. << ini merupakan
tanda bahwa orang itu tidak siap membagi hidup.
0 komentar:
Posting Komentar